Friday, April 27, 2018

Prayer or Passion | #MemaksaMenulis Day 1

Prayer or Passion?

“People with great passion makes impossible thing happen” – Anonym


It was long time ago when my room wall was filled with any paper written follow your dream; travelling the earth!; language is more than what it seems. As I remember, it was my elementary school years. Yes. Language and travelling were my two nature passions since I was a kid.

Passion.


We heard that word a lot. How meaningful this term to you? To me, it was everything. Like the quotation I put above. Passion makes impossible thing to be happen. I would always underline the word passion behind my every hard work and from that line, I created another one “better die than live with no passion”. Sounds extreme? Yeah, I know.

Mungkin obsesiku terhadap apa yang disebut passion itu terlalu berlebihan hingga Allah datangkan penguji-pengujinya, melalui orangtua dan keluarga.

Masih ingat betul ketika hujan deras, dengan sepeda ontel butut aku menerjang banjir jalanan kota Mojokerto. Bocah kecil berkerudung, berkacamata, ditemani deras hujan dengan mantel hujan bolong-bolong, melawan mobil-mobil dan sepeda lalu lalang yang tanpa ragu membelah genangan air hujan. Sejauh beberapa km mengayuh sepeda, demi satu tiket. 

Passion.

Aku masih berpegang teguh.

Hingga keinginan terbang ke lain negeri. Tetapi berat sekali untuk berangkat, bahkan sekedar mengejar ridha. Karena dibelakangku ada bakti, di depanku ada mimpi. Aku menyerah. Menangis.

Hingga suara penuh wibawa itu menghampiriku yang mulai membeku. Dingin. Yang mulai bingung, entah aku ini siapa. Yang mengingatkan, bahwa hidup bukan hanya sekedar kutipan-kutipan mimpi yang ditempel didinding.

Prayer or passion?

Tidak sekali pun pernah terpikir. Bagaimana keduanya dapat disandingkan. Padahal keduanya dapat ditempuh secara bersamaan. Namun Ayah meyakinkan, bahwa ujianku berbeda. Bahwa mengejar passion bukan hanya semembara seperti yang terdengar.

“Pilih mana sih? A) mengejar passion mati-matian, jungkir-balik, kepala di kaki, kaki di kepala. Tapi ga dapat ridho orangtua. Atau B) menjalani dengan perasaan pasrah, tetapi segala urusan dimudahkan karena ridho orangtua. Diantara a dan b, nilai ibadah mana yang lebih tinggi?” tanya Ayah.

Termenung.

Sudah seharusnya sebagai seseorang yang berkerudung tunduk bertafakkur. Bukankah begitu? Bukankah memang seharusnya begitu? Ukuran alam dalam perhitungan yang hakiki adalah tasbih. Ukuran passionmu dalam perhitungan yang hakiki, mau kau jadikan apa? Sebuah pencarian mahluk kepada Rabb... atau sekedar obsesi diri?

Semoga dalam setiap perjalanan, Allah memudahkan <3

Mungkin bagi orang lain aku seperti air. Terus berjalan menurun, ke tempat yang lebih rendah. Tanpa prestasi, tidak keren, dan stagnan. Mereka tidak tahu bagaimana keadaan di belakang layar. Betapa mencoba bangkit dari penolakan-penolakan berulang itu tidak terlalu mudah. Maka biarkan penilaian mereka berkembang dalam kata mau pun tata. Karena sebenar-benarnya langkah, kadang melangkah tanpa kasat mata adalah langkah yang sebenarnya ‘terlihat’ dan ‘terhitung’.

Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya (Al Imran: 159)

Allahu yahdik :’)

--

Walau bagaimana pun, jika keduanya (ibadah dan cita-cita) dapat diraih dalam sekali genggam. Maka lakukan.. 

Namun bagaimana pun keadaannya, jika itu berarti mencari ridho Allah.. bukan mimpi pun tak apa. Bagaimana pun keadaanya, jika karena Allah, semoga nilainya sama. 

Jangan bersedih. Karena sejatinya penciptaan muslim bukan hanya pada pilihan hidup, mimpi, dan mati.




No comments:

Post a Comment

have any thoughts? lemme know below ;)